Change.org Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam bahaya. Kondisi ini terjadi karena DPR dan Pemerintah akan segera mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (R-KUHP) pada 17 Agustus 2018 mendatang dan terdapat subtansi di dalamnya yang dapat mengancam eksistensi KPK maupun upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Di mana letak bahayanya?
Pertama, Jika R KUHP disahkan maka KPK tidak lagi memiliki kewenangan dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Kewenangan KPK tercantum dalam UU KPK yang secara spesifik menyebutkan bahwa KPK berwenang menindak tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU Tipikor (dan bukan dalam KUHP). Jika delik korupsi dimasukkan dalam KUHP, maka hanya Kejaksaan dan Kepolisian yang dapat menangani kasus korupsi. Pada akhirnya KPK hanya akan menjadi Komisi Pencegahan Korupsi.
Aturan ini sekaligus menjadi kontra produktif dengan kinerja KPK yang telah teruji selama ini. Triliunan uang Negara berhasil diselematkan; puluhan koruptor telah dijaring dalam Operasi Tangkap Tangan; seluruh terdakwa korupsi yang dijerat dan dibawa ke persidangan selalu dinyatakan terbukti bersalah oleh hakim (100 percent conviction rate); pelaku korupsi yang ditangkap adalah koruptor kelas kakap mulai dari Ketua DPR, Ketua DPD, sampai Ketua Mahkamah Konstitusi.
Tidak hanya KPK, akan tetapiPengadilan Tipikor pun terancam keberadaannya. Selama ini Pengadilan Tipikor hanya memeriksa dan mengadili kejahatan yang diatur dalam UU Tipikor. Maka jika R-KUHP ini disahkan kejahatan korupsi akan kembali diperiksa dan diadili Pengadilan Negeri. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pada masa lalu Pengadilan Negeri kerap memberikan vonis ringan bahkan tidak jarang membebaskan pelaku korupsi.
Kedua, sejumlah ketentuan delik korupsi dalam R KUHP justrumenguntungkan koruptor. Ancaman pidana penjara dan denda bagi koruptor dalam R KUHP lebih rendah dari ketentuan yang diatur dalam UU Tipikor. Lebih ironis adalah koruptor yang diproses secara hukum dan dihukum bersalah tidak diwajibkan mengembalikan hasil korupsinya kepada negara karena R KUHP tidak mengatur hal ini. Selain itu pelaku korupsi cukup mengembalikan kerugian keuangan negara agar tidak diproses oleh penegak hukum.
Mengakomodir delik korupsi masuk ke dalam R KUHP hanya akan menimbulkan citra buruk bagi rezim pemerintah dan parlemen saat ini. Presiden juga dinilai ingkar janji dengan poin ke-4 “NAWACITA”yang menyatakan akan memperkuat penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Pemerintahan Jokowi dan Partai Politik yang ada di DPR nantinya akan tercatat sebagai lembaga yang melemahkan KPK dan upaya pemberantasan korupsi. Wallahu a'lam bish-showab.
0 Comments:
Terima Kasih atas kunjungannya